Kenaikan dan Kelajuan Cemaran PM2.5 di Wilayah Indonesia
Kenaikan dan Kelajuan Cemaran PM2.5 di Wilayah Indonesia
Pencemaran udara merupakan permasalahan yang tidak lepas dari wilayah perkotaan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor dan konsumsi energi akibat tingginya jumlah penduduk dapat menjadi penyebab menurunnya kualitas udara di suatu wilayah. WHO (World Health Organization) pada tahun 2016 memperkirakan lebih dari 3 juta kasus kematian terjadi setiap tahunnya di seluruh dunia akibat paparan polusi udara ambien terutama yang disebabkan oleh aktivitas lalu
lintas, dimana pencemaran udara menyebabkan 1 dari 8 kematian akibat penyakit pernapasan, penyakit jantung, stroke, dan kanker (Latifah, dkk., 2021). Particulate Matter adalah salah satu polutan di udara dengan berbagai ukuran yang mendapat perhatian khusus. Partikulat dengan ukuran ≤ 2.5 mikron atau PM2.5 menjadi perhatian global karena kontribusinya yang luas terhadap beban kesehatan global. Beberapa gangguan yang dapat ditimbulkan oleh paparan PM2.5 seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), gangguan paru, batuk, gangguan jantung, anemia, iritasi mata, gangguan pertumbuhan, hingga kematian dini.
Wilayah Jakarta memiliki luas daratan 661.52 km2 dan berbatasan langsung dengan beberapa wilayah seperti Depok, Tangerang, Bogor, dan Bekasi. Sebagai pusat pemetintahan dan pusat perekonomian membuat Jakarta sering dikunjungi masyarakat dari berbagai wilayah, baik menggunakan transportasi umum maupun transportasi pribadi. Banyaknya jumlah transportasi di Jakarta mengakibatkan peningkatan polusi udara di wilayah tersebut. Selain itu,industrialisasi yang ada sekitar Jakarta juga menambah peningkatan polusi udara (Pemprov DKI 2017).
Kemudian berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik jumlah kendaraan bermotor dari tahun 2015 sebesar 1.916.66, tahun 2016 sebesar 1.753.067, tahun 2017 sebesar 1.123.284, tahun 2018 sebesar 1.203.535 dan tahun 2019 sebesar 1.354.547. Dalam kurun waktu belakangan ini hasil pemantauan mengalami peningkatan yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup DIY. Kabupaten Sleman mengalami kepadatan lalu lintas yang mana berdampak terhadap banyaknya kendaran untuk melakukan service di bengkel (Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sleman, 2021). Banyaknya partikel yang berasal dari kendaraan yang berefek terhadap kesehatan bagi manusia sendiri akibat dari PM10 pada
konsentrasi tinggi adalah iritasi pada mata dan tenggorokan. Pengidap penyakit jantung dan asma dapat meningkatkan gejala penyakit tersebut.
Sektor transportasi yang menggunakan bahan bakar fosil merupakan salah satu sumber antropogenik dari keberadaan PM2,5. Hal ini menyebabkan kota-kota utama di Indonesia memiliki nilai PM2,5 yang tinggi dan melebihi baku mutu tahunan, misalnya menurut laporan WHO tahun 2016 kota Jakarta sebesar 45 µg/m3 atau empat kali melebihi baku mutu WHO dan kota Bandung sebesar 33 µg/m3 . Sumber lainnya berasal dari asap kebakaran hutan dan letusan gunung berapi.
Kebakaran lahan/hutan terjadi di Indonesia khususnya wilayah Sumatera dan Kalimantan pada musim kemarau dan peralihan di sekitar bulan Agustus hingga Oktober. Distribusi rata-rata konsentrasi PM2,5 tahunan tahun 1999 hingga 2015 dapat mencapai kisaran antara 0,5 hingga 32 µg/m3 . PM2,5 tinggi (lebih besar dari baku mutu tahunan) dijumpai di wilayah Pulau Sumatera bagian timur, Provinsi
Kalimantan Tengah, dan Pulau Jawa bagian utara. Salah satu lokasi di wilayah Sumatera dengan PM2,5 tinggi yaitu Kabupaten Indragiri Hulu memiliki PM2,5 tahunan sebesar 12 hingga 81 µg/m3.Pada lokasi tersebut, sebanyak 59% dalam rentang waktu 17 tahun, PM2,5 melebihi baku mutu tahunan dengan maksimum dijumpai pada tahun 2015 sebesar 81 µg/m3 atau 5 kali lipat lebih dari baku mutu tahunan yang diduga berkaitan dengan kebakaran lahan hebat di wilayah Sumatera.
Data penelitian (Mufida, dkk., 2016) menunjukkan kadar rerata PM2,5 di wilayah ramai kendaraan adalah 70 μg/m3 dan di wilayah tidak ramai adalah 60 μg/m3.tak hanya disebabkan oleh gas kendaraan bermotor, sebanyak 90,2% balita yang menderita gejala ISPA tinggal di rumah yang memiliki kadar PM2,5 melewati baku mutu yang ditetapkan. Pada penelitian ini kadar PM2,5 tinggi di daerah berbisi ditemukan pada rumah dengan ventilasi tidak memadai. Populasi berpengaruh terhadap konsentrasi PM2,5 yang terpapar. Han et al. menunjukkan bahwa dinamika urbanisasi tahun 1973 - 2013 di Indonesia telah meningkatkan konsentrasi PM2,5. Aktivitas harian penduduk berpengaruh terhadap konsentrasi PM2,5 yang terpapar. Kegiatan merokok, berkendara, kegiatan industri, dan aktivitas bekerja menjadi salah satu sumber PM2,5.
Sumber referensi :
Cholianawati, N., Satyawardhana, H.,
Gusnita, D., & Cahyono, W. E. (2020).
Pengaruh Enso Terhadap Variasi
Tahunan Partikulat Halus (PM2, 5).
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika, 7(1), 43-48.
Latifah, H. I., Gusti, A., & Rahmah, S. P.
(2021). Analisis Risiko Kesehatan
Lingkungan (ARKL) Pajanan
PM2.5 Pada Siswa Di SD N 28 Mandau
Duri Riau Tahun 2020. Jurnal
Keselamatan, Kesehatan Kerja dan
Lingkungan, 2(1), 1-10.
Mufida, I., Dharmayanti, I., & Azhar, K. (2016).
Kadar debu partikulat (PM2, 5) dalam
rumah dan kejadian ISPA pada balita di
Kelurahan Kayuringin Jaya, Kota Bekasi
tahun 2014. Media Penelitian dan Z
Pengembangan Kesehatan, 26(1),
20758.
Pemprov DKI. (2017). Rencana
Pembangunan Jangka Menengah
Daerah Provinsi DKI Jakarta 2017
Z 2022. DKI Jakarta.
Komentar